Di Malasyia pohon sagu sudah dibudidayakan dalam bentuk perkebunan dan pati ( tepung sagu ) yang didapat merupaka komuditas perdagangan. Disini tepung sagu telah diambil dengan cara teknologi maju.
Di Indonesia Timur, tepung sagu diproduksi dari pohon liar dengan cara tradisional untuk dimakan sendiri dan sebagian untuk diperdagangkan. Bentuk dalam perdagangan berupa balok-balok kecil sagu kering atau diolah sebagai butir-butir disebut “ sagu mutiara “.
Dikepulauan Mentawai, sagu hanya dipergunakan untuk konsumsi keluarga sendiri dan karena jumlah penduduk masih sangat sedikit, dan penebangan pohon sagu dilakukan tidak berlebihan secara tradisonal, persediaan hutan sagu masih cukup berlimpah.
Satu rumpun sagu setiap dua tahun memberikan satu pohon sagu yang matang untuk ditebang dan diambil sagunya, hanya kadang-kadang saja terdapat dua pohon sekaligus yang tersedia untuk diproduksi tepungnya.
Sejak umur sekitar 8 tahun kadar sagu didalam batang pohon sagu bertambah terus dan mencapai puncaknya pada saat pohon itu mulai berbunga. Pada saat inilah pohon harus ditebang dan diambil sagunya. Penduduk setempat sudah mengetahui kapan meraka dapat menebang pohon sagu untuk diambil patinya.
Didaerah Maluku dan Sulawesi Utara cara memasaknya sudah lebih maju, yaitu dalam bentuk masakan yang disebut papeda, atau dapat pula dalam bentuk berbagai jenis kue kering yang cukup mengundang selera. Balok-balok kecil sagu kering juga dapat dicelupkan kedalam kuah dan langsung disantap.